Hampir dibeberapa instansi akademik yang memiliki profesi ke akuntansian beberapa bulan ini makin gencar melakukan sosialisasi akan kehadiran standar baru dalam dunia akuntansi. International finance reporting stadart (IFRS ) merupakan angin baru bagi indonesia. Meskipun secara histori sejak 1994 dalam sejarah perkembangan akuntansi di indonesia sudah mulai melirik standar baru ini. Dan puncaknya pada hasil pertemuan G20 di washington DC tahun 2008 yang lalu, indonesia dengan tegas menyatakan komitmen barunya untuk menerapkan IFRS secara gradual system hingga tahun 2012. IFRS merupakan produk dari IASB (international accounting standart board ) yang berusaha mendorong terciptanya sebuah standar pelaporan keuangan yang sama secara internasional. Hal ini berarti bahwa dunia akuntansi akan bergeser meninggalkan standar lama yang kebanyakan diadopsi oleh negara-negara dunia sebelum adanya IFRS termasuk indonesia yakni GAAP yang dicetuskan oleh FASB amerika serikat. Tentu tidak bisa dinafikan secara teori bahwasanya IFRS akan berperan penting dalam meningkatkan arus modal investasi antar negara, serta terpenuhinya asas komparabilitas laporan keuangan yang efektif bagi para stakeholders dalam mengambil keputusan yang dianggap rasional.
Penyamaan standar akuntansi keuangan bagi negara-negara maju tentu menjadi suatu hal yang dianggap sangat penting mengingat keberadaan survive multinational coorporation (MNC) dari negara mereka yang selama ini menjajaki negara-negara berkembang, sehingga penerapan IFRS akan semakin memperlicin kemampuan negara-negara maju untuk menanamkan pengaruhnya dalam mengeksploitasi dan meningkatkan pangsa pasar yang luas mereka di negara-negara berkembang pada khususnya. Disamping itu penerapan IFRS tentunya akan mendapat dukungn penuh oleh lembaga-lembaga penyandang dana international seperti IMF, bank dunia dan sejeninya juga dalam memperlancar pengaruh mereka dibelahan dunia lewat logika bantuannya.
Liberalisme dan pancasilaisme
Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada ideologi pancasila. Tentu pancasila dan kapitalisme/liberalisme sangat berbeda. Meskipun realitas berbicara hal lain, bahwa negeri ini adalah negeri pancasila secara ideologi tetapi praktik perekonomian kita adalah liberal. Amanah konstitusi dengan jelas menganggap bahwasanya asas perekonomian kita adalah kekeluargaan sehingga seharusnya sistem yang terbangunpun adalah kerjasama sempurna dalam perekonomian bukan persaingan sempurna yang selama ini menjadi doktrin ilmu ekonomi dan praktik sistem ekonomi kita. Begitupun perekonomian dalam konstitusi juga ditegaskan bahwa segala sesuatu yang terkait hajat hidup orang banyak termasuk air dan sejenisnya adalah milik rakyat yang dikelola oleh negara. Tetapi kenyataan justru berbanding terbalik dengan amanah konstitusi. Kenyataan semakin menggambarkan posisi negara yang semakin tumpul, hampir seluruh asset bangsa diserahkan ke asing atas dasar pembenaran peningkatan kesejahteraan, tetapi yang lahir justru ketergantungan pada asing yang berujung pada kenaikan harga sumber daya dan ujung-ujungnya adalah isu pengurangan subsidi bagi rakyat kecil, hal seperti ini menjadi indikator bahwa negeri kita semakin jauh dari pancasila, sebab ekonomi pancasila adalah ekonomi yang berpihak pada keadilan dan pelindungan rakyat kecil, bukan hanya kepada segelintir pemodal. Realitas banyaknya rakyat yang mempertaruhkan nyawa mereka pada beberapa event pembagian zakat dengan nominal yang cukup sedikit menjadi bukti empirik akan kontrasnya data pertumbuhan dengan realitas yang ada.
Pesan kemandirian ekonomi yang diwasiatkan pendiri republik ini semakin jauh dari harapan. Data dari kompas mengungkapkan bahwa 75% pertambangan domestik dikuasai oleh asing, 69,9% industri dalam negri juga dikendalikan oleh industri asing, bahkan yang lebih ironisnya ketika assset perbankan pun telah dikuasai sampai 50,6% jug tidak ketinggalan adalah sektor pariwisata. Hal ini cukup ironis, atas logika pertumbuhan ekonomi secara nominal tetapi justru paradoks dengan tingkat kesejahteraan. Kesejahteraan pada hakekatnya adalah ruang ketika gap sosial ekonomi dapat dipersempit bukan justru kelihatan membengkak. Mempersempit gap sosial tersebut hanya dapat dicapai ketika gagasan pemerataan diterapkan dengan baik dengan cara keberpihakan pada produksi lokal. Bukan dengan cara menjual asset-asset produktif ke negara lain. Sebab realitas pemilikan asing yang begitu tinggi tentu secara nominal akan meningkat pertumbuhan ekonomi seperti tahun ini lebih dari 6%, tetapi pertumbuhan ini tentu disumbangkan dan dinikmati oleh asing juga bukan oleh rakyat secara keseluruhan. Sehingga spiral kesejahteran hanya berputar pada puncak piramida itu sendiri. Perekonomian terlihat seperti balon (buble economic) yang kelihatan besar tapi sangat rapuh dan tidak merepresentasikan kesejahteraan yang sesungguhnya.
Kebijakan yang paradoks
Ditengah persoalan kesejahteraan yang membelit disebabkan oleh penguasaan asing yang semakin mencengkram sehingga mereduksi peluang masyarakat pribumi untuk mengakses sumber daya dengan baik. Justru kita asyik memperbincangkan dan berusaha menerapkan kebijakan-kebijakan yang ujung-ujungnya adalah jembatan asing untuk semakin menjarah negeri ini. Beberapa bulan yang lalu undang-undang akuntan publik pun sudah disahkan dengan asas persaingan bebas dengan memberi izin kehadiran akuntan asing di negeri kita, belum lagi peng-legalan undang-undang PMA yang memberi izin kepemilikan sampai 99% dan yang lebih hangat sekarang adalah harmonisasi dan komitmen negara untuk menerapkann dengan sempurna standar IFRS 2012 yang sangat jelas mewakili kepentingan asing, bukan kepentingan rakyat banyak, sebab 98% usaha dinegeri ini adalah UMKM.
Dalam buku teori akuntansi (vernom kan,1990) menyebutkan ada sedikitnya 6 teori sebagai sudut pandang akuntansi diantaranya teori kepemilikn dan entitas yang menganggap bahwa akuntansi merupakan pengungkapan informasi untuk kepentingan koorporasi atau pemodal. Hal ini semakin memberikan sinyal yang signifikan kaitannya dengan penerapan IFRS, bahwasanya kehadiran standar baru ini merupakan refleksi dengan jelas akomodasi teori koorporasi, yang menekankan akuntansi untuk kepentingan koorporasi. Teori perusahaan (vernom kan, 1990) yang cendrung memperlihatkan akuntansi sebagai ilmu tidak terpisah dengan tanggung jawab sosial perusahaan, justru terkesan jauh dengan kehadiran IFRS ini. Meskipun paradigma ekonomi sudah menagarah pada pada integritas antara ekonomi dengan alam (W.I.M Poli, 2010), bahkan kecendrungan wacana hukum, sudah mengarah pada isu bahwa pengrusakan alam adalah bentuk pelanggaran HAM.
Tetapi realitas hari ini menggambarkan bahwa kehadiran perusahaan asing justru meninggalkan persoalan kerusakan alam yang begitu menyedihkan. Tetapi yang lebih menyedihkan lagi ketika para akuntan-akuntan dan pengambil kebijakan justru asyik dalam meramu kebijakan bagaimana memperlancar masuknya perusahaan asing tersebut. Kehadiran perusahaam asing yang diperlicin dengan banyaknya kebijakan yang semakin mengarah pada liberalisme murni tentu sangat bertolak dengan ekonomi pancasila yang menjujung tinggi kedaulatan ekonomi rakyat.
Hal tersebut tentu menjadi angin buruk bagi masa depan generasi muda kedepan, sebab kebijakan libearlisme jauh lebih cepat dibanding dengan pembangunan sumber daya yang baik. Kondisi ini jelas merupakan bentuk penyimpangan terhadap konstitusi. Kebijaka-kebijakan tersebut justru cenderung untuk menggeser posisi bangsa menjadi penontong di negeri sendiri, bahkan ada besar kemungkinan kedepannya akan menjadi budak dinegri sendiri. Sehingga tidak ada bedanya dengan kondisi bangsa sebelum masa kemerdekaan yang hidup ditengah-tengah kekuatan asing, oleh karena sudah seharusnya kiblat ekonomi dikembalikan pada khittahnya yakni ekonomi pancasilaisme.